Daán yahya/Republika

Roem, Sang Diplomat Teladan

“Anak didik” Haji Agus Salim itu dihormati kawan maupun lawan.

Oleh: Hasanul Rizqa

Tidak lama usai menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Republik Indonesia menghadapi kenyataan pahit. Belanda dalam wajah Netherlands Indies Civil Administration (NICA) datang lagi ke negeri ini. Meski berdalih menyertai pasukan Sekutu—yang bertugas mengamankan para tawanan perang dan melucuti senjata Jepang—NICA pada faktanya hendak mengukuhkan kembali penjajahan atas Tanah Air.

 

Masa revolusi pun dimulai. Untuk mempertahankan kemerdekaan, Indonesia tidak hanya melancarkan perjuangan bersenjata. Para pemimpin bangsa ini juga menggencarkan cara-cara diplomasi untuk menggalang simpati dan dukungan internasional. Di tengah ancaman dan gempuran militer Belanda, para diplomat RI dikirim ke berbagai forum internasional, utamanya PBB. Mereka pun menjadi garda terdepan dalam setiap upaya perundingan.

 

Salah seorang di antaranya ialah Mohamad Roem. Sejarah mencatat namanya sebagai sosok diplomat ulung dari masa revolusi Indonesia. Politikus Masyumi tersebut turut menjadikan negeri ini berdaulat serta mendapatkan pengakuan penuh dari dunia internasional.

 

Seperti dijelaskan Iin Nur Insaniwati dalam buku Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya 1924-1968, tokoh ini lahir pada tanggal 16 Mei 1908 di Desa Klewongan, Tarakan, Temanggung (Jawa Tengah). Kedua orang tuanya adalah Dulkarnaein Joyo Sasmito dan Siti Tarbiyah. Pasangan suami istri ini dikaruniai tujuh orang anak, yakni lima laki-laki dan dua perempuan.

 

Mohamad Roem merupakan anak keenam dan sekaligus putra yang kelima. Kakaknya yang tertua dan adik perempuannya yang bungsu masing-masing bernama Mutiah dan Siti Khadijah. Adapun empat dari anak laki-laki dalam keluarga tersebut memiliki nama-nama yang khas dan berurutan karena mirip dengan nama-nama para Khulafaur rasyidin.

 

Dalam sebuah wawancara yang dikutip Iin, Roem mengenang, ayahandanya bukanlah sosok ulama. Malahan, seperti tampak dari namanya, Dulkarnaein Joyo Sasmito cenderung menonjolkan identitas tradisional Jawa. Bagaimanapun, bapaknya itu memiliki kesadaran keislaman yang cukup tinggi.

 

Oleh karena itu, Dulkarnaein sengaja memberikan nama-nama para putranya sesuai dengan empat khalifah awal pemerintahan Islam, yakni Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Sebagai putra kelima, Roem tidak diberikan nama yang bersandar pada sosok pemimpin Muslim tertentu.

 

Menurut Roem, namanya merupakan refleksi dari kesadaran historis sang ayah. Dalam Alquran, ada sebuah surah bernama ar-Rum yang menceritakan kondisi Imperium Romawi, sebuah kerajaan besar yang eksis pada masa Nabi Muhammad SAW.

 

Masa kecil Mohamad Roem dihabiskan di kampung halamannya. Sesudah berusia 11 tahun, ia mengikuti kedua orang tuanya untuk pindah ke Pekalongan. Hingga lima tahun berselang, dirinya menetap di kota pesisir pantai utara Jawa tersebut.

 

Tidak seperti Temanggung yang didominasi pola kehidupan tradisional Jawa, masyarakat Pekalongan cenderung dinamis. Di sana, suasana Islam yang ada lebih modern. Beberapa anggota keluarga Dulkarnaein ikut dalam gerakan-gerakan Islam, semisal Muhammadiyah dan Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII).

 

Sesudah ayahnya meninggal dunia, Roem muda tinggal bersama keluarga kakak perempuannya, Mutiah. Di Pekalongan, wanita ini bersama dengan suaminya merupakan kader Muhammadiyah. Dengan dukungan mereka, Roem melanjutkan sekolah formal tingkat dasar, Hollandsch Inlandsche School (HIS), yang sempat tertunda sejak kepindahan dari Temanggung.

 

Pada 1924, Roem lulus dari HIS dan berhasil menembus ujian masuk sekolah dokter Pribumi, School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Untuk menempuh pendidikan tinggi itu, ia pun hijrah ke Batavia (Jakarta). Sejak menjadi mahasiswa, ia sering bergaul dengan kawan-kawan dari pelbagai daerah. Cakrawala pemikirannya pun menjadi kian luas.

Mohammad Roem | Pekan Buku Indonesia 1954

Dalam masa ini, ia belajar dari sejumlah senior, semisal HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim. Dari keduanya, Roem memperoleh banyak masukan mengenai dunia politik, keagamaan, dan kebangsaan. Mereka pula yang turut membentuk kemampuannya hingga menjadi seorang diplomat cemerlang.

 

Rentang waktu pendidikan di STOVIA terbagi menjadi dua, yakni masa persiapan (tiga tahun) dan kuliah plus kerja lapangan dengan status dinas (tujuh tahun). Antara tahun 1924 dan 1927, Roem menyelesaikan tahap pertama masa studi di kampus tersebut. Adapun tahap kedua dijalaninya dengan keringanan biaya karena mendapatkan beasiswa dari pemerintah kolonial.

 

Antara tahun 1930 dan 1932, Roem hendak meneruskan ke jenjang lanjutan yang disebut Geneskundige Hoge School (GHS). Namun, dua kali mengikuti ujian, dirinya menemui kegagalan. Karena itu, ia kemudian memutuskan untuk rehat selama dua tahun.

 

Waktu tidak sekolah itulah, Roem mulai bergiat dalam berbagai pergerakan, semisal Jong Islamieten Bond (JIB). Pada 1932, ia memutuskan untuk mengakhiri masa lajang dengan menikahi Markisah Dahlia di Malang. Wanita ini dikenalnya sebagai seorang aktivis Nasionale Indonesische Padvinderij (Nativij).

 

JIB didirikan pada 1 Maret 1925 oleh para pemuda yang sebelumnya merasa tidak diberi ruang di organisasi kepemudaan daerah. Seorang pendirinya, Sjamsuridjal, merupakan mantan ketua Jong Java. HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan KH Ahmad Dahlan turut memandu para aktivis JIB.

 

Roem menikmati kegiatan-kegiatan pengembangan diri di JIB. Dalam organisasi ini, ia kian menyerap pengetahuan dan semangat perjuangan, serta mengasah kemampuannya dalam berbicara di depan umum. Mentor yang paling mengesankannya ialah Haji Agus Salim, seorang penasihat organisasi kepemudaan Islam itu.

 

Ia mengakui, pandangan Haji Agus Salim mengenai spirit Islam amat mempengaruhinya. Sebelum bergabung dengan JIB, Roem ikut terbawa arus yang mencurigai Islam sebagai penyebab keterbelakangan. Apalagi, agama ini dianut oleh kebanyakan orang yang jauh dari kehidupan modern.

 

Hasil dari belajar Islam kepada Haji Agus Salim, Roem dan para pemuda JIB tidak malu lagi untuk membanggakan identitas Muslim. Mereka dengan sepenuh hati meyakini bahwa agama ini memberikan pedoman terbaik untuk menghadapi dunia modern.

 

Bukan hanya cara Haji Agus Salim menjelaskan pemikiran dan praksis Islam, watak dan pribadi tokoh Minangkabau ini pun memukau mereka. Roem mengenang, kesan pertama yang ditangkapnya dari sang penasihat JIB itu adalah kesederhanaan. Rumah yang disewa sosok poliglot berjulukan “the Grand Old Man” itu terletak di area perkampungan dan memiliki perabot seadanya. Kondisi demikian amat berbeda dengan kediaman orang-orang terkenal pada masanya.

 

Hubungan yang dekat antara dirinya dan para penasihat JIB amat mempengaruhi langkah-langkah politik Roem kelak di kemudian hari. Seperti dinukil Iin, ia mengungkapkan, “Sebagai akibat yang tidak langsung kita berkenalan lebih rapat dengan penasihat JIB dan lain-lain pemimpin (Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto), dengan sendirinya kita tertarik oleh perjuangannya. Meskipun mereka tidak langsung mengajak kita menurut jejak langkah mereka, tapi terutama pemimpin-pemimpin JIB melihat dari dekat apa yang dikerjakan, apa artinya menjalankan tugas sebagai pemimpin umat.”

 

Alih-alih meneruskan ke level GHS, Roem kemudian mengikuti ujian dan berhasil diterima di Sekolah Tinggi Hukum atau Recht Hoge School (RHS) Batavia. Selama menjadi mahasiswa hukum, ia juga aktif dalam Studenten Islam Club (SIS), yakni semacam perkumpulan kajian keislaman. Pada 1939, ia lulus sehingga berhak menyandang gelar sarjana “meester in de rechten” yang disingkat “Mr.”

Benar bahwa ia menjadikan Partai Masyumi sebagai kendaraan politiknya, tetapi hal itu tidak menjadikannya seorang “petugas partai.”

Dalam masa dirinya menjadi mahasiswa RHS Batavia, Roem pun memiliki “rumah kedua” untuk mencurahkan kemampuan berorganisasinya: PSII. Menurut Iin, Roem secara resmi masuk menjadi anggota partai tersebut pada 1932. Keanggotaannya terjadi tanpa terlebih dahulu melalui Syarikat Islam Afdeling Pandu (SIAP) atau Pemuda Muslim, melainkan berkat kedekatannya dengan Haji Agus Salim—yang juga dipandang senior di PSII.

 

Keaktifan Roem di PSII terutama dalam rangka membela nasib atau perkara orang-orang PSII di depan pengadilan kolonial. Sebagian besar perkara yang dibelanya menyangkut persoalan tanah partikelir dan sikap tuan tanah yang sewenang-wenang terhadap bawahan. Semua kegiatan itu dilakukannya bersama-sama dengan Haji Agus Salim.

 

Pada 1936, PSII pecah menjadi dua kubu, yakni yang mendukung Haji Agus Salim di satu pihak dan pendukung Abikusno Tjokrosujoso di pihak lain. Yang pertama itu lalu membentuk Barisan Penyadar PSII, yang lalu bertransformasi menjadi sebuah partai baru bernama Pergerakan Penyadar. Di dalamnya, Roem ikut serta.

 

Sebelum pecah Perang Dunia II, pemimpin Penyadar terdiri atas Haji Agus Salim, AM Sangadji, M Sardjan, dan Mohamad Roem. Mereka sempat melakukan kunjungan pada gubernur jenderal Hindia Belanda, van Starkenborg di Batavia. Dalam pertemuan itu, Haji Agus Salim mengusulkan kesediaan rakyat Pribumi untuk membantu Belanda dalam PD II dengan syarat, Indonesia merdeka. Usulan tersebut hanya didengar sang gubernur jenderal, tetapi tidak ditindaklanjuti.

 

Pada 1942, Jepang mulai menguasai Indonesia dan berakhirlah masa kolonialisme Belanda. Dalam waktu relatif singkat, Nippon mendesak pembubaran seluruh partai politik yang ada di Tanah Air, termasuk di dalamnya Pergerakan Penyadar. Terjeda dari dunia politik, Roem pun kembali berkecimpung dalam pekerjaannya sebagai pengacara.

 

Beberapa tahun berlalu, Jepang mulai hilang kendali di PD II. Dalam berbagai pertempuran, Negeri Matahari Terbit dipukul mundur Sekutu yang dikomandoi Amerika Serikat (AS). Dalam situasi kian terdesak, Nippon semakin memandang penting dukungan nyata dari rakyat Pribumi.

 

Pada 1 November 1944, dibentuklah Barisan Pelopor. Pembentukan milisi ini bertujuan meningkatkan kesiapsediaan rakyat Indonesia. Walaupun ditempatkan sebagai pemimpin organisasi bentukan Jepang itu, Sukarno dan kawan-kawan berambisi untuk menjadikan Barisan Pelopor sebagai ajang bagi kaum muda agar siap ketika kelak tiba saatnya Indonesia Merdeka.

 

Dalam Barisan Pelopor inilah, Roem yang semula tidak aktif mulai terlibat lagi dalam dunia perpolitikan. Ia diangkat menjadi kepala Barisan Pelopor di wilayah tempat tinggalnya, Kampung Kwitang. Anggotanya sekira 100 orang. Seperti diceritakan Iin, sebuah pengalaman berkesan bagi Roem ialah ikut dalam pekerjaan umum yang dipimpin Bung Karno sendiri. Lokasinya di Lapangan Banteng—kini kompleks Monumen Nasional Jakarta.

 

Dalam masa ini, Roem tidak sama sekali “melupakan” keislaman sebagai spirit berorganisasinya. Pada Juli 1942, Jepang mencabut pelarangan atas organisasi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang ketika itu dianggap memayungi pelbagai warna perbedaan Muslimin di Tanah Air. Namun, pada 24 Oktober 1943, pemerintah pendudukan lagi-lagi melarang MIAI karena tak ingin mengambil risiko dari persatuan umat.

 

Bagaimanapun, kompromi tercapai dengan diizinkannya organisasi-organisasi Islam untuk kembali dikumpulkan dalam satu wadah bernama Madjelis Sjuro Moeslimin Indonesia (Masyumi). Ini didirikan pada November 1943.

 

Masyumi sempat menangani Barisan Hizbullah. Kemudian, pada Januari 1945 disusunlah dewan pengurus pusat Hizbullah. Mohamad Roem duduk di dalamnya sebagai wakil ketua (ketua muda). Di antara anggota-anggotanya adalah Anwar Tjokroaminoto, Jusuf Wibisono, dan Prawoto Mangkusasmito.

dok repro buku

Masa Indonesia merdeka

 

Sesudah Proklamasi RI 17 Agustus 1945, Mohamad Roem terus bergiat dalam dunia perpolitikan nasional. Bersama para aktivis Muslim, ia mengupayakan berdirinya partai politik Islam. Hanya dua hari sesudah keluar Maklumat Wakil Presiden RI Nomor X pada 5 November 1945, Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta sepakat mengumumkan pembentukan Partai Masyumi.

 

Ketika itu, jajaran Partai Masyumi diisi oleh KH Hasyim Asy’ari selaku ketua umum majelis syura dan Dr Sukiman sebagai ketua pengurus besar. Adapun Roem tercatat sebagai anggota.  Kelak hingga Masyumi dibubarkan paksa oleh presiden Sukarno pada 1962, murid Haji Agus Salim ini tetap setia di dalam parpol Islam tersebut.

 

Adanya Maklumat X menandakan peralihan dari sistem presidensial kepada parlementer di Indonesia. Antara 1945 dan 1947, kepala pemerintahan RI dipegang oleh Sutan Sjahrir selaku perdana menteri. Dalam Kabinet Sjahrir, Roem menjabat sebagai menteri dalam negeri. Jabatan yang sama pun diembannya ketika Mr Amir Syarifuddin naik menjadi perdana menteri pada 1947-1948.

 

Menurut Lukman Hakiem dalam artikelnya, “Mr Roem, Soekarno, Pembubaran Masyumi” (2017), Sutan Sjahrir sejak awal memegang kendali pemerintahan memperlihatkan kecenderungan untuk berunding dengan Belanda. Sikapnya itu condong didasari oleh kenyataan bahwa pemerintah RI mempunyai kekuasaan yang secara de facto  ditaati oleh seluruh rakyat. Sementara, Belanda datang ke Indonesia untuk menegakkan kembali kekuasaan de jure-nya.

 

Guna memecahkan masalah yang rumit ini, mau tidak mau Belanda pun datang menemui pemimpinan pemerintahan Indonesia. Dan, Sjahrir pun ingin menunjukkan kepada dunia internasional, pemerintahan yang ia pimpin mampu bertindak sebagaimana layaknya sebuah negara-bangsa yang beradab, bermartabat, dan berdaulat.

 

Sebaliknya, Partai Masyumi kala itu lebih condong pada pandangan mereka yang ingin “merdeka 100 persen” sehingga menolak kecenderungan Sjahrir untuk berunding. Masyumi menganggap Kabinet Sjahrir tidak melihat adanya “perubahan radikal” dan revolusi mental (mentale revolutie) pada jiwa kolektif bangsa Indonesia saat itu. “Bangsa yang dahulu bersifat lemah dan tak berdaya, kini menjadi kuat, penuh meluap dengan semangat perjuangan (militan),” demikian petikan pernyataan M Natsir, dalam sebuah wawancara yang dikutip Lukman.

 

Bahkan, Masyumi bersama dengan tokoh-tokoh radikal semisal Tan Malaka kemudian membentuk front yang disebut Persatuan Perjuangan. Pesan pokoknya adalah “berunding atas dasar pengakuan kemerdekaan RI 100 persen.”

 

Fakta bahwa Roem bisa menjadi bagian dari Kabinet Sjahrir adalah berkat politik yang dilakukan wakil presiden RI, Mohammad Hatta. Waktu itu, Bung Hatta meminta Roem agar memperkuat kabinet tersebut. Sesudah itu, Roem berkonsultasi dengan ketum Partai Masyumi, Dr Sukiman. Jawaban yang diperolehnya adalah, ia boleh saja menjadi menteri di bawah PM Sjahrir tetapi sebagai perseorangan, tidak mewakili Masyumi.

Mohamad Roem (kiri berpeci) menjelang perundingan | dok wikipedia

Pada Maret 1947, RI dan Belanda menyepakati Perjanjian Linggarjati. Kesepakatan ini menuai kontroversi di tengah rakyat Indonesia. Partai-partai, termasuk Masyumi, juga mengkritiknya dan menganggap Linggarjati sebagai bukti lemahnya pemerintah dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia. Apalagi, wilayah RI hanya tinggal Sumatra, Jawa dan Madura.

 

Lukman Hakiem menuturkan kesaksian Natsir ihwal momen itu: “Waktu Persetujuan Linggajati (disepakati), Partai Masyumi tidak setuju dengan persetujuan tersebut, tetapi juga tidak menghalangi unsur Masyumi (Roem) duduk dalam delegasi perundingan. Partai Masyumi jalan terus, meneruskan oposisi.

 

Partai Masyumi tidak percaya bahwa Belanda akan mentaati persetujuan itu. Analisis Partai Masyumi ternyata betul. Tetapi persetujuan Linggajati itu adalah suatu persetujuan internasional. Pelanggaran Linggajati oleh Belanda itu meningkatkan isu Indonesia di dunia internasional.

 

Dan itu menjadi pembuka pintu bagi Indonesia untuk masuk PBB. Itulah fungsi Persetujuan Linggajati. Jadi bukan untuk memecahkan persoalan secara langsung, tetapi sebagai pembuka jalan untuk mencapai penyelesaian yang lebih terjamin.”

 

Sebagaimana di momen Perjanjian Linggarjati, Roem pun ikut dalam tim RI—dan bahkan menjadi anggota inti delegasi Indonesia—di Perundingan Renville. Ini dihelat sejak 8 Desember 1947. Lokasi pertemuan ialah atas geladak kapal perang AS, USS Renville, yang sedang berlabuh di pantai Jakarta.

 

Berdasarkan isi Perjanjian Renville yang diformat memasuki tahun 1948, di atas kertas Indonesia lebih dirugikan ketimbang Linggarjati dahulu. Sebab, wilayah negeri ini—yang diakui Belanda—kian menciut menjadi Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra.

 

Perundingan pelaksanaan Perjanjian Renville sendiri tidak pernah selesai. Sebab, di tengah rentang masa perundingan, Belanda justru melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Yogyakarta yang merupakan ibu kota RI jatuh. Namun, roda pemerintahan Indonesia tetap berputar dengan diumumkannya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi (Sumatra Barat).

dok repro buku

Momen Roem-Royen

 

Sampai pada titik ini, ada yang cukup unik dari hubungan antara Mohamad Roem dan partainya, Masyumi. Terhadap hasil Linggarjati maupun Renville, Masyumi tetap tegas menyuarakan kecaman. Parpol Islam ini terus menyesalkan, mengapa pemerintah RI terkesan tidak sanggup mempertahankan kedaulatan Indonesia merdeka 100 persen.

 

Sementara, di kedua momen itu, Roem berperan penting. Namun, tidak pernah ada kesan bahwa ia “menyeberang” dari garis partai tempatnya berkiprah. Masyumi pun tidak pernah menjatuhkan semacam sanksi atau hukuman kepadanya.

 

Menurut Lukman Hakiem, penyebab harmonisnya hubungan antara Roem dan partainya itu adalah integritas. Bahkan, lawan politik pun mempercayai kejujuran dan ketulusan Roem. Benar bahwa ia menjadikan Partai Masyumi sebagai kendaraan politiknya, tetapi hal itu tidak menjadikannya seorang “petugas partai.” Di dalam kabinet, ia tetap menjadi pribadi yang berprinsip dan berdaulat, tanpa harus pada saat yang sama merenggangkan hubungan dengan Masyumi—yang ketika itu oposisi pemerintah.

 

Berkat integritasnya pula, Roem tetap bisa menjaga hubungan baik dengan tokoh-tokoh PDRI walaupun ia terpaksa “mengecewakan” mereka dengan Perjanjian Roem-Royen. Ketua PDRI adalah Syafruddin Prawiranegara yang tidak lain merupakan kawan satu partainya.

 

Cerita bermula sesudah Belanda melancarkan agresi militer sehingga berhasil menguasai Yogyakarta. Bahkan, presiden Sukarno, Bung Hatta, dan Sjahrir dijadikan tawanan oleh pasukan musuh. Untuk mempertahankan jalannya roda pemerintahan, Bung Karno menginstruksikan pembentukan PDRI, yang diketuai Syafruddin.

 

Ternyata, langkah Belanda untuk menginvasi Indonesia menuai kecaman internasional. Resolusi PBB pada Januari 1949 menghasilkan United Nations Commission for Indonesia (UNCI). Menjelang pertengahan tahun 1949, Belanda mau tidak mau harus kembali ke meja perundingan.

 

Dasar mental penjajah, Belanda lalu melancarkan politik pecah-belah di “detik-detik terakhir.” Pihaknya menyatakan bersedia berunding dengan Indonesia, asalkan yang dimaksud dengan “pemerintah RI” bukan PDRI, melainkan Sukarno-Hatta. Padahal, kedua “Dwitunggal” tersebut ketika itu berstatus sebagai tawanan Belanda.

 

Sukarno ternyata menerima persyaratan dari Belanda itu. Maka, di luar sepengetahuan Syafruddin selaku ketua PDRI, pada awal Mei 1949 berlangsunglah pembicaraan antara “pemerintah RI” dan Belanda. Bung Karno menunjuk Roem sebagai pemimpin delegasi. Adapun Belanda diwakili Dr Jan Herman van Roijen.

 

Perundingan Roem-Roijen menemui kata sepakat pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Di antara butir-butir kesepakatan kedua belah pihak ialah, RI mengeluarkan instruksi kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya. Kemudian, menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat. Adapun Belanda berjanji menyerahkan kedaulatan (dalam perspektif Indonesia: pengakuan kedaulatan), yang dilakukan melalui mekanisme konferensi meja bundar di Den Haag.

 

Tentu saja, Syafruddin dan jajarannya di PDRI sempat heran dengan sikap Bung Karno. Bahkan, Jenderal Sudirman—panglima pemimpin gerilya RI—sempat mengirimkan kawat kepada Pak Syaf: “Minta keterangan, apakah orang-orang yang masih ditahan (dalam status tawanan) atau pengawasan Belanda, berhak untuk berunding, lebih-lebih menentukan sesuatu yang berhubungan dengan politik untuk menentukan status negara kita.”

 

Dalam situasi demikian, untungnya, tokoh PDRI itu tetap berpikiran jernih. Tidak mau ikut arus yang lantang mengecam tindakan Bung Karno, tetapi pada saat yang sama tidak berjarak dengan Pak Dirman serta mereka yang memprotes Perjanjian Roem-Royen.

 

Pada 6 Juli 1949, jajaran PDRI bertemu dengan utusan Bung Hatta di Desa Koto Kaciek—kini bagian dari Kabupaten Limapuluhkota. Dalam kesempatan itu, Pak Syaf menyatakan, demi mencegah perpecahan Indonesia dan menjaga serta memelihara persatuan nasional, dirinya akan menyerahkan mandat kembali kepada Bung Karno di Yogyakarta.

 

Mengenang momen ini, Natsir berkata bahwa hanya satu kali itulah Roem “mengecewakan” banyak kawan separtainya. Bagaimanapun, sang Bapak Mosi Integral NKRI itu meyakini, tindakan Roem seolah-olah menuruti kemauan Bung Karno, tetapi dilakukannya atas dasar keyakinan yang mantap untuk masa depan Indonesia.

 

“Saya yakin, Roem hanya menjalankan apa yang dia pandang sebagai kewajibannya, demi kepentingan nusa dan bangsa. Sedikit pun tidak ada niat padanya untuk menyeleweng dan meninggalkan PDRI. … Saya yakin tentang integritas dari Roem dan kawan-kawan lain yang menyokong pembicaraan Roem dengan van Roijen. Maka, kami tetap bersatu walaupun berbeda pendirian. Persatuan inilah yang akhirnya membawa kemenangan!” ujar Natsir, seperti dinukil Lukman Hakiem.

top